Perempuan Bekerja: Antara Keinginan dan Tuntutan

 
perempuan bekerja


Perempuan bekerja di zaman sekarang bukanlah suatu hal yang tabu lagi. Bahkan seakan menjadi suatu kewajiban. Pada beberapa kasus justru perempuan yang tidak bekerja seolah mendapat cibiran dan pandangan sinis dari lingkungan sekitar bahkan keluarga.

Tema mengenai perempuan bekerja yang ingin saya tulis ini sebenarnya berkaitan dengan sharing session yang diadakan oleh ODOP Indonesian Creator (ODOP-ICC) bersama Mubadalah melalui webinar.

Sayang sekali saya tidak dapat hadir saat webinar walau Alhamdulillah masih mendapat materi tulisnya. 

Adapun webinar tersebut mendatangkan pemateri yang bernama Mbak Muyassaroh Hafidzoh dimana beliau juga seorang penulis novel Hilda dan Cinta Dalam Mimpi.

Tema dalam webinar yang diadakan pada 11 Januari 2021 adalah Peran Keluarga Sebagai Support Sistem Penyintas Kekerasan Seksual.

Namun kali ini saya tidak ingin membahas mengenai kekerasan seksualnya karena saya merasa belum sanggup mengulas tema tersebut. Saya ingin membahas topik yang umum saja yaitu mengenai perempuan bekerja.

Menurut apa yang disampaikan Mbak Muyassaroh, terdapat lima bentuk ketidak adilan terhadap perempuan, antara lain : 
  • Marginalisasi
  • Subordinasi pembetukan stereotype atau melalui pelabelan negatif
  • Kekerasan
  • Stereotype atau pelabelan negatif
  • Beban ganda yang dipaksakan
Kali ini saya akan membahas mengenai beban ganda yang dipaksakan kepada perempuan dalam hal ini atas predikat perempuan yang bekerja.

Kenapa Perempuan "Harus" Bekerja?

Seperti yang saya singgung di awal paragraf bahwa saat ini perempuan bekerja seolah-olah mutlak adanya. Beberapa orang yang menganggap mutlak sangat disayangkan apabila mereka tidak melihat faktor yang menyebabkan seorang perempuan memiliki untuk tidak bekerja di luar rumah.

Salah satu kerabat saya malah menyayangkan sikap yang diambil anak perempuannya yang setelah menikah memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Malah seakan-akan pengorbanannya menyekolahkan anak perempuannya itu sia-sia hanya karena si anak tidak bekerja.

Alangkah sempitnya pemikiran orang tua yang seperti itu. Kita sadar bahwa biaya menyekolahkan anak tidaklah murah namun sebagai orang tua selayaknya menghargai keputusan anak untuk menjadi ibu rumah tangga penuh.

Lalu ada lagi kisah tetangga yang baru menikahkan anak lelakinya dengan perempuan nun jauh di seberang pulau. Tetangga tersebut bercerita bahwa dia mewajibkan menantu perempuannya untuk bekerja apabila ikut suaminya ke pulau Jawa.

Menurut saya pribadi perempuan tidak memiliki kewajiban untuk mencari nafkah. Jika ada perempuan bekerja maka sebaiknya keputusan tersebut didasarkan oleh keinginan pribadi dan bukan paksaan.

Tapi kembali lagi ketika seorang perempuan harus bekerja karena keadaan, maka bisa jadi ada beberapa hal yang melatar belakangi hal tersebut antara lain :
  • Tidak adanya pencari nafkah lain selain perempuan tersebut.
  • Pasangan hidup atau suami dalam keadaan sakit menahun sehingga mengharuskan perempuan bekerja sebagai tulang punggung.
Jadi sudah tak seharusnya sebagian masyarakat memandang sebelah mata bagi perempuan yang tidak bekerja walaupu  dia memiliki kemampuan untuk itu. 


Penutup

Akhir kata saya tidak mengatakan perempuan bekerja saat ini merupakan suatu kewajiban atau keharusan karena saya pun pribadi berprofesi sebagai pekerja kantoran dan juga di rumah seorang blogger yang masih harus berkutat dengan deadline menulis.

Entah mengapa bagi saya profesi blogger memberi ruang tersendiri dan bahkan sedikit ada rasa penyesalan mengapa dari dulu saya tak gemar membaca dan menulis. Tapi apalah gunanya menyesal. Yang terpenting adalah mencoba berbenah diri, dan tetap fokus pada masa depan yang ingin diraih.



Blogger Surabaya
Blogger Surabaya Selamat datang di blog pribadi saya. Blog ini menerima kerjasama Content Placement. Jika ingin bekerjasama silahkan hubungi via email mariatanjung7@gmail.com

Posting Komentar untuk "Perempuan Bekerja: Antara Keinginan dan Tuntutan"